Pages

Wednesday, October 23, 2013

Mata Ketiga Cinta




Judul                       : Mata Ketiga Cinta
No. ISBN                 : 978-602-9055-12-2
Penulis                     : Helvy Tiana Rosa
Penerbit                  : Asma Nadia Publishing House
Tanggal terbit        : 2012
Halaman                  : 96

***
Saya jatuh cinta! Yup, buku ini membuat saya absolutely falling in love. Sudah agak lama sebenarnya saya ingin membaca buku ini, tetapi karena belum sempat membeli, maka ketika ada teman yang bersedia meminjamkan, saya pun dengan senang hati membawanya pulang. Untuk dibaca tentu saja. Buku yang hanya setebal 96 halaman ini saya baca sepanjang perjalanan pulang kantor dengan kereta. Sepanjang Stasiun Juanda sampai rumah saya di daerah Depok, habislah buku cantik ini saya nikmati. Ya, saya benar-benar menikmati membaca buku ini. Bagi Anda yang sudah sering naik komuter line di jam pulang kantor, bisa membayangkan dong bagaimana ramai dan melelahkannya bahkan untuk sekedar berdiri. Tapi dengan buku ini sebagai teman, perjalanan yang biasanya melelahkan sama sekali tidak terasa. Naik kereta, baca sambil berdiri, tahu-tahu sudah sampai di stasiun tujuan. Dan bukunya belum tamat! Padahal kan tidak sampai seratus halaman?!

Tentu saja, saking menikmatinya, satu halaman sampai saya baca berulang-ulang. Mirip ABG yang dapat surat cinta dari orang yang ditaksir, lalu dibaca terus-terusan sampai lecek. Haha... Tapi saya bacanya ga sampai lecek lho ya... Secara, pinjem gitu... 
Akhirnya saya memutuskan untuk membeli sendiri buku ini, sayang kalau sampai tidak punya buku sebagus ini! Kalau punya sendiri kan saya bisa baca berulang-ulang, hehe :D

Lalu, kenapakah saya sampai jatuh cinta sedemikian rupa pada buku ini? Baca saja sendiri puisi-puisinya Mba Helvy Tiana Rosa ini. Untaian katanya begitu hidup. Biarpun kata-kata yang digunakan sederhana, tapi saya merasa maknanya begitu dalam. Ada juga beberapa puisi yang saya sendiri tidak bisa menginterpretasikan maknanya sesuai dengan versi saya. Tapi toh hal itu tidak mengurangi kenikmatan saya membaca bait demi bait puisinya.

Saya ambilkan satu bait dari salah satu puisinya:

Ketika wajahmu tak lagi menampakkan 
kening, mata, hidung, dan mulut
apakah yang masih bisa kukecup?
:doa

Membaca ini membuat saya merinding, betapa indahnya seseorang yang mampu mengecup doa. Membayangkan bagaimana proses mengecup doa, di tengah-tengah kerinduan.

Atau yang ini...

Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi 
Aku mencintaimu sampai laut, sampai langit, sampai darah, sampai mati

Mencintainya seperti apa coba? Kesannya, cintaaaaaaa bangeeeettt gitu ya? Tapi diungkapkan dengan sesuatu yang tak biasa. Dan di situlah letak keindahannya.

Juga yang paling saya favoritkan, judulnya "Sajak Februari"
Seperti gelombang yang setia pada lautan 
Aku telah lama kau campakkan 
ke pantai paling rindu itu 
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali 
meski dengan luka yang paling badai
 Membayangkan luka yang paling badai itu kayaknya sakiiiiiiitttttttt sekali :(
Ya, tiap halamannya membuat saya berhenti sejenak, meresapi keindahan katanya dan mencari-cari apa sebenarnya maksud puisi ini. Saya seolah membaca karya-karya sastra sekelas milik Hamka. Penuh makna, dan ketulusan hati. Karya yang ditulis dengan perenungan mendalam yang mengikutsertakan hati, tentu saja akan sampai ke hati juga dan membuat pembacanya ikut merenungkan. Tidak sabar menunggu puisi-puisi Mba HTR yang berikutnya :)

Lima bintang untuk buku kumpulan puisi ini!!!!!

Thursday, October 17, 2013

Catatan Hati Ibunda



Judul                       : Catatan Hati Ibunda 
No. ISBN                 : 978-602-9055-19-1
Penulis                     : Asma Nadia, dkk
Penerbit                  : Asma Nadia Publishing House
Tanggal terbit        : 2013 
Halaman                  : 293

***

Buku ini sengaja saya beli dalam rangka persiapan belajar menjadi seorang ibu, dalam rangka #31hariberbagibacaan juga sih... Dua tahun lebih pernikahan saya dan suami, sampai saat ini kami belum dikarunia bayi kecil yang suara tawa-teriakan-tangisannya memenuhi penjuru rumah. Jadi, saya pikir ada baiknya memulai banyak belajar sebagai persiapan menjadi orang tua sebelum yang dinanti-nanti tiba :)

Dulu sebelum tahu dan merencanakan akan menikah pun, saya memulai banyak membaca buku-buku pernikahan, tentang kehidupan rumah tangga, dan sejenisnya -yang beberapa di antaranya ditulis oleh Asma Nadia. Barulah ketika persiapan saya sudah cukup memadai, Allah memercayakan kepada saya untuk menjadi seorang istri. Tiba-tiba saja si calon suami datang tak dijemput pulang tak diantar, hehe.... Berharap dengan persiapan yang matang pula, nanti Allah juga mempercayai saya untuk menjadi seorang ibu.

Buku ini, memenuhi ekspektasi saya atasnya. Tujuan saya membeli buku ini karena memang ingin mengetahui gambaran menjadi seorang ibu. Dan saya sukses dibuat terharu-menangis-dan tertawa oleh buku ini! Bener-bener catatan hati para ibu deh...

Ada cerita para ibu saat anak tercinta sakit, ada pula cerita mengenai perjuangan melahirkan bayi yang dinanti, cerita saat si ibu sedang kelelahan tapi si anak menguji emosi, jauh dari anak, ibu yang single parent, sampai kisah ibu yang kehilangan buah hati. Entah saya yang terlalu cengeng atau kebanyakan kisahnya yang memang mengharukan, berderai-derailah air mata saya seperti hujan yang tumpah dari langit. *lebay.com. Kapan sih saya nggak menangis kalo lagi baca buku? Jarang kayaknya! Tapi yang membuat berbeda adalah, kalo biasanya nangis hanya di satu atau beberapa bagian, buku ini membuat tangis haru saya hampir nggak berhenti di setiap bab baru. Dari 19 kisah, mungkin 3 atau 4 kisah yang tidak berhasil membuat saya menangis.

Cerita yang paling membuat saya penasaran adalah kisahnya Mba Sinta Yudisia. Kenapa? Karena judulnya "Demonstran!" Apa hubungannya coba? Anak dengan demonstran? Coba baca bagian ini...
... Jangan berharap mereka akan senantiasa menurut, patuh, dan taat pada setiap perintah yang kita ucapkan. Mereka dan kita adalah pribadi yang berbeda. Lazimnya sebuah pemerintahan yang otoriter, akan lahir para demonstran yang menyerukan keadilan. Bersuara lantang memprotes kebijakan yang dianggap berat sebelah.
Deg! Huahahahahahaha... *ketawa guling-guling. Terbayang para balita demo bawa papan yang isinya penuh dengan kalimat protes.

Dibandingkan dengan buku keroyokan lainnya, buku ini bisa dibilang lebih menyenangkan. Perbedaan gaya bahasa antara penulis yang satu dengan yang lainnya tidak terlalu mencolok sehingga pembaca bisa sangat menikmati lembar demi lembar cerita dalam buku ini. Bahasa cukup ringan dan mengalir. Layout yang cantik dan tidak terlalu padat membuat saya mampu menghabiskan buku ini dengan kilat.

Namun dari berbagai kelebihannya ada beberapa bagian kisah dalam buku ini yang membuat saya berusaha keras untuk menemukan sisi menariknya, mungkin karena bahasa yang digunakan oleh beberapa penulis kurang hidup.

Overall, empat dari lima bintang untuk buku ini. Kisah penutupnya itu lho... Terlalu indah untuk dikenang. Baca deh! 
:-)   

Friday, October 11, 2013

Rumah Tanpa Jendela

Hari Ahad lalu saya melihat salah satu channel televisi swasta menayangkan tentang kehidupan muslim Rohingnya yang dimusuhi karena iman mereka. Akibatnya sampai saat ini mereka masih hidup di pengungsian yang tidak bisa dikatakan layak untuk ditinggali, dan mereka hidup di sana sudah lebih dari satu tahun!

Seperti yang sudah-sudah, saya mewek-mewek sendiri hampir sepanjang acara. Langsung bersyukur sesyukur-syukurnya, keluarga kecil saya sudah tinggal di rumah sendiri walau produk BTN alias Beli Tapi Nyicil :p Dan menyesalnya, kenapa kemarin-kemarin saya masih sempat mengeluh banyak tentang rumah yang ditempati saat ini. Semoga saja keluhan-keluhan kemarin itu tidak dicatat malaikat sebagai perbuatan kufur nikmat, melainkan unsur khilaf saja.
Gegara itulah saya jadi punya ide untuk tema #31hariberbagibacaan, mengubek-ubek rak buku dan ketemulah...... Taraaaaaa..... buku ini :D


Judul                       : Rumah Tanpa Jendela (Novel)
No. ISBN                 : 978-979-709-546-8
Penulis                     : Asma Nadia
Penerbit                  : Kompas
Tanggal terbit        : 2011 
Halaman                  : 180

Yang akan saya resensikan kali ini hanya novelnya saja ya, skenarionya tidak. Karena dari pertama beli tahun 2011 lalu sampai dengan sekarang, saya memang tidak hendak berencana membaca skenarionya. Naskah skenarionya ikutan dibeli hanya karena satu paket dengan novelnya saja.

Untuk membaca novel ini sampai habis, saya membutuhkan waktu yang tidak terlalu lama. Hampir semalaman. Hampir semua buku-buku Asma Nadia yang saya baca mampu membuat mata saya menganak-sungai. Hiks...

Rara, alkisah adalah seorang bocah perempuan piatu penghuni sebuah rumah tak berjendela di perkampungan kumuh di pinggiran Jakarta. Mimpinya sederhana, ia ingin memiliki jendela untuk rumah tripleksnya. Satu saja, agar dari dalam rumah bisa dilihatnya keindahan bulan tiap malam... atau kupu-kupu dan yang beterbangan di siang harinya, dan juga untuk melihat ramainya rintik hujan dari dalam rumahnya.

Dalam novel ini dibahas keseharian Rara bersama teman-temannya di perkampungan kumuh tersebut. Keluguan mereka, karakter-karakter mereka yang unik dan sering membuat saya tertawa di kala membaca, salah satunya Akbar yang gagap sehingga teman-temannya suka menjahili.

Pertemuan anak-anak kampung kumuh dengan Aldo dan keluarganya. Aldo, adalah seorang penderita down syndrome yang lahir di tengah keluarga kaya. Kehidupan mereka yang diwarnai oleh Bu Alia di rumah baca. Sungguh-sungguh kisah yang sangat menyentuh.

Dari kesemuanya, ada dua bagian di novel ini yang membuat isak saya makin menjadi. Yang pertama adalah ketika Bapak Rara berhasil membeli kusen jendela bekas. Subhanallah, merinding rasanya. Cinta yang begitu besar dari orang tua untuk anaknya. Bagaimanapun susah-payahnya, orang tua pasti akan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya, termasuk mewujudkan impian sang anak meski harus membanting tulang. Lalu yang kedua, bagian setelah itu. Saat Bapak Rara pulang membawa kusen jendela bekas di tangannya dan menemukan rumahnya dikepung oleh si jago merah bersamaan dengan rumah-rumah lain di perkampungan itu. Dengan heroiknya, sang bapak menerobos kobaran api demi menyelamatkan keluarganya. Saya benar-benar terharu. Mengingat sewaktu masih menjadi mahasiswa dulu sering bermain ke perkampungan kumuh dekat kampus. Kebanyakan saya dapati anak-anak kecil yang tidak dididik orang tuanya dengan baik, anak-anak polos yang kentara sekali kalau kekurangan kasih sayang dari orang tuanya. Seringkali mereka memeragakan cara orang tua mereka memperlakukan mereka kepada teman-teman mereka. Yang orang tuanya biasa marah-marah dengan berkata kasar, maka anak-anaknya dengan mudah membentak temannya dengan kata-kata kasar yang bahkan mereka sendiri tidak tau apa itu artinya. Yang orang tuanya biasa "menggerakan tangan" dengan ringan untuk menyampaikan sesuatu pada anak-anaknya, maka anak-anaknya pun suka main tangan. Salah sedikit saja berimbas pada bunyi "plak!". Ah, andai tiap orang tua di sana punya jiwa kasih sayang seperti Bapaknya Rara.

Di tengah cerita, saya merasa terganggu dengan cerita antara Bu Alia dengan Kak Adam dan Andini dengan pacarnya Billy. Pengennya saya skip saja dari buku ini, hehe. Hal lain yang menjadi catatan saya untuk buku ini adalah ekspektasi saya yang cukup besar pada bagian penutup tidak terjadi. Kisah Aldo dan keluarganya yang kaya cukup mudah ditebak kelanjutannya. Buat saya sebagai pembaca, kisah keluarga Aldo ini sering berulang dalam cerita-cerita televisi seperti sinetron. Meski begitu, saya berpikir bagian ini tidak harus dihilangkan, saya hanya berharap mendapatkan sesuatu yang lain entah dari cara atau bahasa penulis menceritakannya. 

Di luar kisah itu, yang saya tidak habis pikir, bagaimana proses kreatif Asma Nadia dalam menangkap hal yang sederhana lalu mampu mengolahnya menjadi karya indah. Tidak banyak orang yang berpikir bahwa jendela bisa dijadikan sebuah cerita, apalagi cerita yang menginspirasi. Tapi lain halnya dengan penulis satu ini, dari sebuah jendela milik Asma Nadia, kita mampu menangkap berbagai hikmah.

Setelah panjang lebar, akhirnya saya harus kembali mengaku pada realita, bahwa berkomentar sangatlah mudah, dan tidak mudah membuat kisah inspiratif yang semacam ini. Membuat kita berpikir dan ingin selalu mendekat kepada-Nya. Simaklah quote indah yang menutup kisah ini. Nasihat seorang ibu kepada anaknya.
Allah pasti mengabulkan setiap doa, Ra. Tapi kadang ada doa-doa lebih penting yang harus didahulukan.
Empat dari lima bintang saya persembahkan untuk novel ini. 

Tuesday, October 8, 2013

Spiritual Reading, Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca





Judul
                      : Spiritual Reading, Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca
No. ISBN                 : 978-979-3653-39-6
Penulis                     : Dr. Raghib As Sirjani & Amir Al Madari
Penerjemah            : H. Sarwedi MA Hasibuan, Lc
Penerbit
                 : Aqwam
Tanggal terbit        : Mei-2007 (Cetakan II) 
Halaman                  : 207

***

Sewaktu bingung mencari-cari buku apa yang mau saya resensi, holaaa... ketemulah buku yang satu ini. Buku favorit saya dari zaman dahulu kala. Senangnya... bisa bernostalgia dengan buku yang satu ini :)

Buku ini tidak sengaja saya temukan pas event pameran buku Islam terbesar, Islamic Book Fair! Kalau saya tidak salah ketemunya pas IBF 2008 di mana pada tahun itu saya untuk kali kedua datang memborong buku di IBF.

Begitu selesai membaca buku ini, saya berasa seperti orang miskin level 10 yang tiba-tiba menemukan gunungan harta karun yang melimpah ruah dan tersembunyi dari penglihatan banyak orang! *lebaydotcom. Sebenarnya memang nggak ada salahnya ungkapan yang saya sampaikan itu. Pasalnya, saya membeli buku ini dengan harga tidak lebih dari 20k (cuma belasan ribu rupiah!) tetapi yang saya dapatkan banyaaaaaaakkkk buangeeeetttttt.

Secara umum isinya sesuai dengan judulnya, yakni tentang membaca. Yang berbeda, buku ini membahas secara detail segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan membaca, namun dengan sudut pandang seorang muslim. Di toko buku, biasanya saya temukan buku dengan tema seperti ini banyak didominasi oleh penulis-penulis dari Barat. Kalaupun ada penulis dari Indonesia yang menulis tema ini pun, -yang saya tahu sejauh ini- tulisannya kurang nendang. Buku ini, biarpun yang nulis dari luar juga alias buku terjemahan, mengusung cita rasa yang cocok untuk dikonsumsi muslim Indonesia. Recommended lah pokoknya...

Mulai dari mengapa kita harus membaca, mengatasi kebosanan saat membaca, menentukan prioritas bacaan, sampai tips-tips membaca yang efektif, semuanya dikupas tuntas-tas-tas-tas oleh penulis dalam buku tipis yang padat gizi ini. Apalagi diselipkan pula kisah-kisah salafus shalih yang cinta sampai mati terhadap ilmu dan buku, seperti kisah Al Hasan Al Lu'lu'i yang selama 40 tahun tak pernah istirahat siang, tidur malam ataupun berbaring melainkan terdapat buku di atas dadanya atau Ibnul Jahm yang mengusir kantuk dengan membaca buku. Kalo kita mah kebalikannya... Mengundang kantuk dengan membaca buku. (Kita? Saya aja kali ya? *sebelum datang gelombang protes dari yang baca).

Kekurangan buku ini apa? Kekurangannya adalah, saya sulit sekali menemukan kekurangannya! Mungkin di sini ada sedikit kebenaran dari kata-kata orang bahwa cinta itu membutakan. Saya sudah terlanjur cinta buku ini, jadi saya tidak melihat adanya kekurangan pada buku ini. Tetapi bagaimanapun, bacaan itu adalah soal selera. Kalau tidak selera, ya bisa saja buku ini tidak menarik untuk dibaca. Seperti saya yang suka membatin 1-2 tahun sebelum menemukan buku ini, kenapa sih orang perlu membaca buku tentang "membaca". Bukankah tinggal dibaca saja? Hehe...

Sebagai penutup resensi saya kali ini, saya ambilkan secuil syair dari buku ini yang dibuat oleh salah seorang salafus shalih pecinta buku dan ilmu:

Sebaik-baik kekasih dan teman adalah buku
Engkau bisa berduaan dengannya saat semua kawan mengkhianati
Ia takkan membongkar rahasiamu, tak pula menjelek-jelekkanmu
Yang kau dapat darinya hanyalah kebijaksanaan dan kebenaran

*
)Ini kalo kita pilih buku yang benar yaaa... karena saat ini setiap orang sudah bisa menerbitkan buku sendiri dengan mudahnya

Oiya, saya jadi ingat satu hal yang mungkin jadi kekurangan buku ini. Sebagaimana buku terjemahan kebanyakan, kalau ada puisi atau syair yang memiliki rima di buku aslinya, maka puisi atau syair yang diterjemahkan biasanya tidak seindah aslinya. Tapi, kesimpulan ini masih berupa kemungkinan lho yaa... Maka dari itu, boleh dong kalau saya beri bintang 5 -dari 5 bintang- untuk buku ini :)

Monday, October 7, 2013

Menjadi Hafizh Al-Qur'an dengan Otak Kanan, Panduan Sistematis dan Aplikatif


Judul                       : Menjadi Hafizh Al-Qur'an dengan Otak Kanan,
                                   Panduan Sistematis dan Aplikatif
No. ISBN                 : 978-602-8399-20-3
Penulis                     : Dr. Abdullah Mulham
Penerjemah            : Hidayatullah S.Ag, Al Hafizh
Penerbit
                 : Pustaka Ikadi
Tanggal terbit        : Februari 2013 
Halaman                  : 198

***

Seperti buku-buku lainnya tentang menghafal Al-Qur'an, buku ini -tentu saja- dipenuhi dengan berbagai motivasi agar kita menghafal Al-Qur'an. Tetapi satu hal yang berbeda, hal yang menurut saya paling menarik dari buku ini apabila dibandingkan dengan buku-buku lain yang sejenis adalah buku ini diawali dengan Bab "Bagaimana Saya Harus Memulai?" Sesuai dengan judulnya, benar-benar panduan yang sistematis dan aplikatif.

Sewaktu membaca halaman-halaman awal buku ini, saya sangat menikmati membaca paragraf demi paragraf. Mula-mula pembaca diajak untuk memahami bahwa menghafal Al-Qur'an adalah sebuah kenikmatan, bukan sebuah beban yang sulit untuk dilaksanakan. Pembaca digiring untuk mengubah mindset-nya mengenai menghafal Al-Qur'an, bahwa menghafal Al-Qur'an adalah impian besar yang tidak bisa tidak diraih oleh setiap muslim. Pemaparan-pemaparan dari penulis yang  mengalir dan bahasanya yang sederhana sangat mengena dan membuat saya mengiyakan hampir setiap apa yang diungkapkan penulis. Dalil-dalil mengenai keutamaan menghafal Al-Qur'an memang tidak dibahas panjang dan mendalam seperti pada buku-buku lainnya yang sejenis, namun ada satu poin yang saya catat lekat dalam memori saya: 

Menghafal Al-Qur'an adalah megaproyek yang tidak mengenal bahasa kegagalan
Kendala yang sering ditemui dalam menghafal Al-Qur'an adalah melupakan hafalan lama apabila sudah menginjak hafalan baru. Istilah kerennya, hanya pindah hafalan dan bukan punya hafalan baru. Inilah hal yang biasanya ditakuti para penghafal Al-Qur'an dan membuat para penghafal Al-Qur'an tidak bergerak untuk menambah hafalannya karena takut hafalan yang lama akan hilang. Yang membuat saya bersemangat, penulis tidak menghakimi bahwa lupa sama dengan gagal. Banyak joke yang sering kita dengar, "Banyak menghafal banyak lupa, sedikit menghafal sedikit lupa, karena itu tidak usah menghafal saja." Dengan bahasa yang indah, penulis mampu memotivasi pembacanya untuk tetap menambah hafalan meski sedikit dan banyak lupa. Pastinya, dengan tetap berusaha mengulang-ulang hafalan yang lama.

Dua bab terakhir membahas mengenai prinsip-prinsip utama dan langkah-langkah praktis dalam menghafal Al Qur'an. Secara umum, isinya hampir sama dengan kebanyakan buku sejenis, namun dengan pengungkapan yang berbeda. Saya pribadi, merekomendasikan buku ini untuk dibaca, baik yang belum mempunyai keinginan untuk menghafal Al-Qur'an dan -terutama- mereka yang memiliki impian besar menghafal Al-Qur'anul Karim. InsyaAllah, buku ini dapat menjadi salah satu bekal kita dalam mewujudkan megaproyek yang tak pernah mengenal bahasa kegagalan!

Nilai buku ini : bintang empat dari lima :)