Pages

Thursday, May 24, 2018

Tentang Sampah

Setiap pagi akan berangkat ke kantor, saya melewati sebuah tempat yang selalu bikin geleng-geleng kepala. Tepatnya sebuah jalan, tapi memang kanan kirinya tidak banyak rumah. Ada beberapa toko dan tanah kosong saja. Yang bikin geleng-geleng adalah setiap pagi pasti ada setidaknya dua plastik berisi sampah yang dibuang ke jalan. Bukan pinggir jalan ya, tapi di tengah jalan. Seolah-olah barang yang tidak sengaja jatuh. Dan itu setiap pagi.

Saya tidak mengerti bagaimana jalan pikiran si pembuang sampah. Apakah sedemikian pelitnya tidak mau ikut iuran kebersihan biar sampahnya diangkut atau bagaimana. Dan heran di sisi lain, tapi kok rajin ya... Pasti buang sampahnya pas masih sepi dan gelap. Niat banget. Kalau niat, kenapa sampahnya ngga sekalian diantar ke tempat yang memang dikhususkan untuk sampah? Entahlah.

Sampah, saat ini seharusnya tidak lagi kita pandang sebagai sebuah barang yang hanya bisa dibuang, tetapi juga dikelola. Tidak terbayangkan setiap hari sampah makin bertumpuk, wujud dan baunya memenuhi bumi ini. Sementara di sisi lain kita terus menghasilkan sampah demi sampah.

Adalah Lauren Singer, seorang mahasiswi lingkumgan yang tinggal di New York. Selama dua tahun hanya menghasilkan satu toples sampah kecil. Gaya hidup yang sangat antimainstream. Namun dari situ bisa diambil pelajaran bahwa sampah itu bisa dikelola.

Mindset mengelola sampah, bukan membuang, menurut saya sesuatu yang harus mulai ditanamkan dan diaplikasikan sedari kecil agar menjadi kebiasaan. Jika perlu masuk ke dalam kurikulum sekolah. Bahkan mungkin tak hanya sampah dalam arti sebenarnya, tetapi juga sampah emosi. Bukankah kian hari kian banyak hal negatif yang terjadi karena ketidakpiawaian manusia mengelola sampah emosi?

#30dwc
#30dwcjilid13
#squad7

Tuesday, May 22, 2018

Pejuang Dua Puluh Ribu

Sudah lama sebenarnya berniat posting mengenai hal ini, tapi sering tertunda. Entah karena malas atau lupa, atau dua-duanya, hehe. Pas kebingungan mau nulis apa buat "30 Days Writing Challenge", kemudian teringat kembali tentang ini.

Ceritanya saya adalah salah satu orang yang percaya banget bahwa menabung itu sangat penting untuk masa depan. Tapi di sisi lain, saya juga termasuk orang yang jarang menabung. Kadang kala kalau rajin menabung pun, satu atau dua bulan kemudian uang tabungannya sudah tandas tak bersisa.

Menyiasati hal itu, beberapa macam metode menabung pun saya coba lakukan. Mulai dari mengalokasikan pos untuk tabungan di awal, pakai tabungan berjangka, ikut arisan uang tapi minta dapat terakhir, menabung recehan, menabung 5 atau 10ribu per hari, menabung berapapun tiap hari di celengan yang nggak tembus pandang, bikin rekening baru khusus buat nabung, hingga yang ekstrim, menabung harian sesuai tujuan finansial yang ingin dicapai.

Kenapa saya bilang ekstrim? Begini, metodenya adalah mengidentifikasi tujuan finansial jangka pendek, mulai dari butuh berapa dan kapan waktu dibutuhkannya. Bisa jadi ada hanya satu tujuan finansial atau mungkin lebih. Dari masing-masing tujuan finansial, dibuat breakdown per hari. Harus menabung berapakah setiap harinya agar tujuan finansial tersebut bisa tercapai tepat pada waktunya. Sebagai contoh, tujuan finansialnya adalah butuh untuk bayar hutang 10 juta dalam waktu sepuluh bulan ke depan. Maka 10 juta dibagi 10 bulan. Per bulan harus bisa mengumpulkan 1 juta. Angka 1 juta itu dibreakdown lagi per hari. Misal ada 30 hari jadi setiap harinya harus bisa menabung minimal 34.000. Kalau ada tujuan finansial yang lain, dibreakdown juga dan yang harus dikumpulkan perhari akumulasikan dg hasil breakdown tujuan finansial yang lain.

Karena tujuan finansial jangka pendek saya waktu itu sangat banyak, ada lebih dari 5 item dan masing-masing jumlahnyabbesar dan dibutuhkan dalam waktu dekat, maka uang yang harus ditabung per hari juga cukup besar. Berkisar 450 ribu per harinya. Celengannya isi 50 sama 100rebuan, Bok! Alhasil terkadang belum sampai tanggal 15, bahkan tanggal 10, dompet sudah sangat tipis. Tiada lagi uang di tangan. Efek positinya adalah saya jadi rajin banget jualan bukunya, haha. Omset naik hampir 3 kali lipat gara-gara itu. Tapi kemudian dalam waktu 3 bulan zonk, saya terlalu lelah jiwa dan raga. Menurut saya metode ini perlu segera diakhiri karena nggak saya banget, sama sekali tidak sesuai dengan kepribadian saya😅

Akhirnya sampailah saya pada suatu metode yang membuat lebih semangat menabung, yaitu metode menabung pecahan 20ribu. Pertama kali tau metode ini kalo nggak salah dari baca tulisan Ippho Santosa. Istilah kerennya "The Power of 20.000", sementara orang yang nabung disebut pejuang 20ribu.


Metode menabung pecahan 20 ribu adalah kita harus mengkondisikan diri agar setiap bertemu dengan pecahan 20 ribu, kita menabungnya. Mau uang cuma tinggal 20 ribu, tabung. Uang di dompet 20 ribuan semua pun, tabung juga. Walau kemudian tidak ada yang tersisa... Yang jelas tiap ketemu uang 20ribuan, maka uang tersebut tidak boleh dibelanjakan, dipinjamkan, atau ditukar dengan pecahan lain. Uang pecahan 20 ribu hukumnya satu, tiada lain kecuali hanya boleh ditabung.

Saya memilih menabung pecahan 20ribu di toples, lalu tiap bulan saya setorkan ke bank, rekening khusus untuk (salah satu) tujuan finansial impian saya.

Kenapa harus dua puluh ribu? Barangkali itu menjadi pertanyaan teman-teman ya...
Pecahan 20 ribu bisa dibilang agak nanggung dan biasanya lebih jarang ditemui dibandingkan pecahan lainnya. Bayangkan kalau menabung pecahan 50rb atau 100rb! Saat butuh bayar sesuatu dalam jumlah besar, kebayang ga kalo harus pake pecahan kecil? Yang ada berat! Masak bayar 10 juta pakai pecahan 10ribu sebanyak seribu lembar? Sungguh tidak efisien, waktu banyak terbuang bahkan hanya untuk menghitung saja. Lagipula, kalau seseorang pas butuh cash banget, dia nggak akan pernah berhasil mengambil uang dari ATM. Lha ATM-nya cuman ada pecahan 50rn atau 100rb. Begitu uangnya keluar dari mesin ATM, uangnya otomatis harus ditabung lagi.

Menabung menggunakan pecahan seribu-dua ribu juga tidak efisien. Kapan bisa ngumpul banyak? Kita juga sering butuh pecahan uang ini untuk parkir, bayar angkot, uang saku anak, beli jajanan, dan sebagainya. Uang pecahan 5ribu dan 10ribu pun juga demikian. Lebih sering jadi alat pembayaran, misal parkir mobil 5rb, minuman botol juga sekitar 5rb, beli bubur ayam 10rb, bayar ojek 10rb, dan seterusnya. Sementara kalau harus membayar sesuatu seharga 20rb, kita bisa menggantikannya dengan uang pecahan yang lebih kecil.

Uang yang pecahannya semakin sering dibutuhkan atau dipakai untuk bertransaksi, biasanya akan menjadi cobaan tersendiri yang lama-lama bisa bikin males nabung.

Kembali ke menabung 20 ribuan. Kelebihan metode ini adalah pikiran saya membentuk mindset baru, meyakini bahwa 20ribu itu hanya untuk ditabung. Jadi begitu dapat kembalian 20 ribuan, otak saya menyatakan "Stop! Jangan dipake buat belanja apapun!", otomatis uangnya langsung masuk ke toples tersendiri.

Yang menyedihkan cuma satu, kalau bayar pakai 50 atau 100 ribu lalu tiap kembalian, dapatnya 20ribuan terus😭😭😭
Langsung deh gak selera beli apa-apa lagi😫

Banyak yang sudah berhasil menggunakan metode ini. Search aja testimoninya di google, "pejuang 20 ribu". Saya sendiri baru berhasil konsisten mengumpulkan 20 ribuan selama setahun sampai dua tahun belakangan untuk membiayai salah satu cita-cita yang butuh uang cukup banyak. Itupun baru 60%, tahun ini semoga terwujud 100%😇

Tidak menampik metode yang lain, kadang saya mengkombinasikan beberapa metode sekaligus. Hanya saja metode 20 ribuan ini pasti dan selalu saya lakukan.

Yuk nabung! Mau coba menjadi pejuang 20 ribu juga? Share versi menabungmu di komentar yaaa... 😉

#30dwc
#30dwcjilid13
#squad7
#day6

Monday, May 21, 2018

Ibadah Butuh Mood

Pernahkah nggak pengen melakukan sesuatu yang sejatinya sangat kita senangi? Mungkin tidak sering, tapi sesekali. Pernahkah nggak selesai-selesai melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak sulit dikerjakan? Atau pernahkah nggak bisa melakukan sesuatu padahal itu mudah dan sangat kita butuhkan? Makan misalnya, atau tidur. Ada saja orang yang lapar dan butuh makan, tapi tidak memiliki mood makan. Atau ada orang yang mengantuk dan ingin tidur, tapi tidak bisa juga memejamkan mata walau dengan berbagai cara. Mungkin begitu pula halnya dengan ibadah. Sebuah hal yang sunnatullah banyak godaannya. Ada yang ingin dan tahu keutamaan beribadah tapi tak kunjung menemukan feel-nya.

Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan mendengarkan Ustadz Hanan Attaki ketika menjadi "jamaah youtubers". Beliau membuat saya tersentil akan satu hal, bahwa ibadah pun membutuhkan mood. Mood adalah adanya perasaan nyaman ketika kita beribadah. Rasa nyaman dalam keimanan kita.

Pantaslah mengapa niat selalu menjadi salah satu prasayarat utama dalam ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim. Menghadirkan niat dalam setiap kebaikan adalah menghadirkan mood dalam beribadah. Menyiapkan diri menikmati rasa nyaman mengecap ketaatan.

Sudahkah kita berupaya menghadirkan mood dalam ibadah kita hari ini?

#30dwcjilid13
#squad7
#day4

Friday, May 18, 2018

Ramadhan, Pentingnya Persiapan


Rencananya, saya akan membuat postingan harian selama Bulan Ramadhan tahun ini.
Dan ini adalah postingan pertama saya.
Here we go...

Hari pertama Ramadhan, ada hal-hal yang sungguh menarik perhatian saya. Salah satunya adalah iklan Ramadhan. Secara tidak sengaja waktu ingin menonton kajian Ramadhan di Youtube, muncul beberapa iklan yang lucu.
Saya hanya akan bercerita tentang salah satunya, yaitu iklan dari sebuah marketplace berwarna hijau di negeri ini. Ceritanya adalah sebuah keluarga, di mana sang ibu harus pergi pada hari itu, sedangkan sang ayah bertugas menjaga anak laki-lakinya yang baru pertama kali berpuasa sepanjang hari ketika ditinggal ibu pergi.

Sang ibu yang khawatir berpesan kepada ayah supaya anaknya tidak capek-capek, tidak banyak lari, dan lain sebagainya karena ini adalah puasa pertamanya. Sang ayah dengan percaya diri menyuruh istrinya untuk tenang. Ternyata sang ayah sudah melakukan sejumlah persiapan dengan membeli “perlengkapan perang” di marketplace hijau tersebut sebagai bekal menjaga sang anak, di antaranya beberapa mainan.

Dimulailah kehebohan ketika anak bangun tidur (setelah sahur) lalu sang ayah siap siaga sepanjang hari mengajak anak bermain –dengan perlengkapan yang sudah dibeli dari marketplace tadi- supaya lupa dengan laparnya. Kalau saya cerita kesannya biasa saja ya, tapi kalua melihat langsung iklannya dengan mata kepala sendiri saya sampai terbahak-bahak tidak berhenti.

Pagi ini saya termenung, setelah sebelumnya mengalami sahur yang agak kacau di hari kedua. Malam sebelumnya, setelah tarawih niatnya mau beli lauk untuk sahur. Apalah daya ternyata dari sekian banyak warung yang ada, hanya sedikit saja yang buka. Dan antriannya panjang, masyaAllah. Sempat menunggu di salah satu warung hingga satu jam tapi belum juga dibuatkan pesanannya, akhhirnya suami mengajak pulang saja. Sudah terlalu larut, khawatir besoknya malah kesiangan. Alhasil pagi tadi hanya sahur dengan menu andalan, mie goreng sejuta umat merk kebanggaan anak negeri.

Ya, saya menemukan korelasi yang sangat sederhana dari iklan dan apa yang saya alami. Tentang persiapan. Bahwa menyambut Ramadhan dengan optimal, diperlukan persiapan yang matang. Bukan hanya tentang Ramadhan, semua pada dasarnya perlu persiapan. Namun dalam konteks Ramadhan kali ini, saya berpikir sudah mempersiapkan banyak hal, mulai menyiapkan mukena yang nyaman, berbekam, dan lain sebagainya sampai cuti dari kantor satu hari sebelum Ramadhan agar tidak terburu-buru pulang dan kena macet di jalan. Ternyata ada persiapan yang saya terlupakan. Menu harian dan cadangan makanan.

Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya banyak pula persiapan lain yang terlupakan. Persiapan pemanasan ibadah. Seperti halnya kendaraan yang dipakai namun tidak dipanaskan terlebih dahulu. Kadang mati di tengah jalan ketika gasnya sedikit dikecilkan. Pernah mengalaminya? Menyesal. Namun sudah tidak ada guna. Ramadhan telah dimulai, meski minim persiapan. Ramadhan tetap akan berjalan.
Dan mari berlari mengiringi Ramadhan, pelan tapi pasti. Sambil mengingat pelajaran di hari pertama Ramadhan, pentingnya persiapan.


#30dwc


Thursday, April 26, 2018

Fenomena Grup Whatsapp

Beberapa waktu yang lalu ada obrolan bersama teman-teman di kantor yang saya pikirkan sampai saat ini. Obrolan tentang waktu. Dulu ketika masih tahun 90-an, dalam sehari rasanya banyak hal yang bisa dilakukan. Pagi pergi ke sekolah, belajar dan bermain bersama teman di sekolah. Pulang sekolah, makan siang bersama keluarga di rumah, membaca buku/majalah, nyicil mengerjakan PR dan tak lama setelahnya tidur siang. Lalu sorenya masih ada waktu mandi sore, mengaji, bermain, dan bahkan membantu ibu membersihkan rumah atau menyapu halaman. Kadang bahkan masih sempat bersepeda sore-sore. Malamnya makan bersama keluarga lagi sambil bercerita tentang apa yang dialami hari ini, belajar atau mengerjakan PR, dan menonton TV rame-rame. What a wonderful life! Sehari ada sangat banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi sekarang... Dengan waktu yang sama, mengapa sedikit sekali hal yang bisa dilakukan? Pertanyaan tersebut tak sengaja mampir dalam obrolan ringan kami siang hari itu.

Saat ini sungguh jauh berbeda. Kami, berangkat pagi dan pulang malam. Saat di kantor, produktivitas juga tidak bagus-bagus amat. Malamnya, sampai rumah sudah tak banyak yang bisa dilakukan karena kelelahan. Bahkan sehari terlewatkan obrolan yang berkualitas bersama keluarga. Sebelumnya saya sempat berpikir, mungkin karena sebagian besar waktu habis di jalan. Coba kalau saya di rumah? Dan saya ingat kembali, ada masa ketika saya hanya di rumah saja. Produktivitas tidak bagus-bagus amat, di rumah saja juga mudah lelah. Apalagi setelah melihat rumah tetap tak ada rapi-rapinya. Padahal saya dan suami masih berdua saja alias belum ada anak. Sama-sama punya waktu yang terbatas! Dalam sehari, tak banyak yang bisa dilakukan dan tak banyak memori yang terekam. Sampai-sampai terpikirkan begini, "Kalau siang saya itu pingsan apa gimana sih? Tau-tau udah malam aja dan nggak ingat siang itu sudah melakukan apa saja."

Kembali ke obrolan saya dengan teman-teman, akhirnya kami bersepakat -dalam diam (gimana coba bersepakat dalam diam? :P)- tentang satu hal. Gadget. Sebagian dari waktu yang kita miliki tak lagi sepenuhnya bisa kita nikmati karena gadget. Bangun tidur buka gadget. Ngapain dikit buka gadget. Beberes rumah, kerja, belajar, memasak, di jalanan, makan, mengobrol, hingga kembali akan tidurpun diselingi dengan membuka gadget. Dulu... Kita terbiasa mengerjakan satu hal sampai selesai, tanpa terdistraksi oleh gadget. Sekarang ada banyak alasan mengapa kita harus sedikit-sedikit membersamai si layar persegi panjang ini. Alasan yang penting atau sebenarnya sama sekali tidak penting.

Salah satu di antara godaan gadget yang -mungkin- tidak kita sadari adalah banjir informasi melalui aplikasi percakapan (chat) di dalam gadget kita. Benar, kalau ada yang bilang segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Coba masing-masing dari kita menengok ke aplikasi chat masing-masing. Berapa banyak grup yang kita ikuti? Sekitar empat bulan lalu, saya sempat iseng menghitung jumlah grup whatsapp yang saya ikuti. Saya terlalu malu untuk menyebutkan jumlahnya saking banyaknya. Ada grup keluarga (keluarga besar, keluarga inti, sesama saudara, keluarga besar yang berdomisili di kota yang sama), grup sekolah (untungnya baru SMP sampai kuliah, ditambah grup ekskul, grup lalala lilili lainnya), grup kantor (grup yang ada Bos, yang nggak ada bosnya, grup panitia project A, project B dan seterusnya yang kebanyakan projectnya sudah kelar tapi grupnya enggak kelar-kelar), grup RT, dan grup-grup lain yang tidak habis-habis dan selalu bertambah. Begitu coba saya eliminasi satu-persatu, yang terjadi adalah mati satu tumbuh sepuluh (untungnya ngga sampe seribu). Pernah saya sampai pusing saking banyaknya informasi yang dibagikan via grup-grup ini. Sementara tidak semua grup penting tetapi keluar dari grup yang kurang penting tidak semudah membalik telapak tangan. Diinvite ulang, diwapri teman segrup, atau dilabeli sombong adalah sebagian konsekuensi yang harus dihadapi ketika keluar dari grup whatsapp.

Dari dua buku yang saya baca seputar fokus dan produktivitas (maafkan lupa judulnya, sabtu saya update tentang judul bukunya, insyaAllah), disebutkan bahwa agar waktu kita efisien dan produktif kita harus fokus dalam menyelesaikan sesuatu. Salah satu cara untuk fokus adalah memperbanyak bertindak aktif, bukan responsif. Contoh tindakan responsif salah satunya adalah membaca email setiap pagi lalu membalasnya. Saya pikir hal ini berlaku juga di dunia per-whatsapp-an. Saat pagi hari, umumnya orang-orang zaman now akan mengecek smartphone terlebih dahulu. Mengecek apakah ada pesan whatsapp yang masuk dan perlu dibalas. Hingga mungkin berlalu 5-10 menit atau bahkan lebih. Dan ini adalah kegiatan yang berulang-ulang selalu dilakukan, tidak hanya saat bangun tidur. Apabila diasumsikan setiap hari kita mengecek whatsapp sebanyak 12 kali saja dan tiap mengecek menghabiskan waktu 5 menit. Sudah satu jam waktu yang dihabiskan. Padahal pada kenyataannya, frekuensi dan waktu yang kita, eh.. saya habiskan untuk mengecek whatsapp lebih dari itu. Ini baru tindakan responsif terkait whatsapp, belum membalas chat di aplikasi dan media sosial lainnya. Entah berapa banyak waktu yang habis...?

Setelah melakukan beberapa pemikiran yang mendalam terkait hal ini -dan sekarang pun masih memikirkan- saya sampai pada beberapa kesimpulan agar tidak terjebak dalam bahaya overdosis grup whatsapp:

1. Membatasi jumlah grup whatsapp yang kita ikuti.

Grup whatsapp, menurut saya, seperti dunia. Tidak ada habisnya kalau terus diikuti. Ada saat di mana kita harus tegas berkata cukup. Kalau terlanjur banyak? Katakan TIDAK pada grup whatsapp (baru)! Kecuali nambah 1 grup baru, keluar 1 grup lama. Kalau sudah terlanjur banyak? Tiada jalan lain kecuali leave grup. Banyak grup yang diikuti juga akan berpengaruh pada memori smartphone. Ada lebih banyak waktu yang kita habiskan untuk sekadar clear chat.  "Maaf, grup whatsapp yang bisa saya ikuti cuma 10. Sudah enggak bisa lagi ikut grup baru." Keren bangetlah kalau ada orang yang bisa bilang begitu! ^_^

2. Memprioritaskan grup whatsapp yang penting dan yang kurang/tidak penting, ikuti grup yang penting saja.

Berfokus pada hal-hal yang bermanfaat saja, termasuk dalam urusan grup whatsapp. Ikuti hanya grup-grup yang bermanfaat saja. Yang bermanfaat seperti apa? Beda orang bisa jadi beda kualifikasi yang disebut bermanfaat. Tanya saja pada diri kita, apakah kita bahagia/tidak menjadi bagian dari grup whatsapp tersebut? Kalau tidak bahagia, lepaskan saja😉
Selain itu, sebaiknya ikuti hanya grup whatsapp yang sudah punya visi-misi dan aturan yang jelas. Pastikan kita sudah tahu mau dibawa ke arah mana grup whatsapp tersebut. Aturan yang jelas akan melindungi anggota grup dari kebanjiran informasi dan perdebatan yang tiada guna.

3. Menciptakan lingkungan bebas kendali grup whatsapp

Sudah saya singgung sebelumnya bahwa banyak sekali hambatan dan tantangan untuk keluar dari sebuah grup whatsapp, terutama dari lingkungan sekitar. Sehingga dibutuhkan lingkungan yang kondusif dan sama-sama memahami bahwa ikut atau tidak ikut grup adalah hak segala bangsa yang tidak perlu dibully dan dipertanyakan sebabnya. Setiap orang memiliki kebebasan akan menjadi anggota grup whatsapp yang mana.
Prinsip yang seharusnya dipegang adalah kita yang mengendalikan, bukan sebaliknya kita dikendalikan oleh grup whatsapp. Sebenarnya tidak hanya grup whatsapp, berlaku juga media sosial atau aplikasi lainnya. Kita, manusia, adalah subjeknya. Bukan objek.
Mengenai hal ini, barangkali kita perlu sama-sama bergandengan tangan untuk menyuarakan bagaimana ber-grup whatsapp dengan nyaman dan menyamankan orang lain. Apalagi kalau bisa viral dan didukung melalui pembelajaran di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Banjir informasi, mungkin perlu juga ditangani oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) karena sangat berbahaya, dapat menurunkan produktivitas anak-anak bangsa😶
Kalau belum bisa, maka mulai dari rumah-rumah kita. Edukasi diri sendiri, edukasi anggota keluarga bagaimana menyikapi fenomena grup whatsapp dengan bijak.

4. Mulai hari dengan berdoa

Tilawah Quran dan dzikir doa-doa perlindungan dari hal yang sia-sia adalah cara yang tidak boleh dilewatkan dalam memulai hari. Agar setiap waktu kita selalu dipenuhi keberkahan dan insyaAllah berujung pada produktivitas yang luar biasa.


Jadi, masih mau mempertahankan kebisingan dan kepusingan yang ditimbulkan grup whatsapp?

Share juga di komen yaa kalau ada tips lainnya :D

#30DWCJILID13
#SQUAD7
#DAY3

Friday, April 20, 2018

Cerita di Atas KRL (Bagian 1) : Melatih Bahagia

Ramadhan tahun ini, insyaAllah menuju enam tahun saya dan suami menjadi warga Depok. Dan beranjak menuju enam pula hitungan tahun saya mendeklarasikan diri sebagai anggota roker alias bagian dari rombongan kereta. Berkantor di Jakarta Pusat membuat saya hampir tidak memiliki alternatif transportasi lain yang lebih mudah-murah-cepat-nyaman, kecuali Kereta Rel Listrik (KRL).

Menghabiskan tiga hingga empat jam sehari di atas KRL membuat saya cukup kenyang dengan asam garam kehidupan per-KRL-an. Kali ini saya akan share tiga hal utama -sok tau ala saya- yang harus dipersiapkan ketika menggunakan KRL sebagai moda transportasi utama sehari-hari (terutama bagi yang menempuh perjalanan jauh menuju tempat bekerja dan pada saat jam sibuk):


1. Siapkan mindset menghadapi dunia KRL yang bisa jadi tak seindah bayangan.

Penuh, berdesakan, bau keringat, panas, gangguan KRL, dan berisik bisa jadi akan ditemui sepanjang perjalanan. Mindset yang paling utama perlu ditanamkan adalah... jangan pernah berharap dapat duduk jika bukan termasuk ibu hamil, ibu membawa balita, lansia, dan penyandang disabilitas. Saat malam dan sudah melewati jam sibuk sekalipun, sekarang KRL lebih sering penuh. Tanamkan mindset bahwa dapat tempat duduk adalah bonus yang mewah. Semacam doorprize utama kegiatan gerak jalan, tidak banyak yang bisa mendapatkan.


2. Kekuatan jiwa dan raga.

Kekuatan jiwa yang diperlukan di antaranya sebanyak satu exa (=1jt *  terra) kesabaran dan satu giga kesungguhan. Alias kesabaran dan kesungguhan yang tiada terkira😂
Sedangkan kekuatan raga yang diperlukan, jika diibaratkan handphone, kira-kira handphone yang sudah dicharge hingga 100% dengan kondisi baterai yang masih bagus, ditambah baterai cadangan dengan kondisi prima dan power bank 10.000 MAh yang terisi penuh. Suatu ketika saya pernah... akan berangkat ke kantor dan untuk bisa memenangkan persaingan naik KRL memggunakan 90% tenaga dari 100% yang saya siapkan. Di atas KRL terpaksa minum beberapa teguk air dan makan cokelat supaya tidak pingsan, padahal sebelumnya sudah sarapan😅
Dan itu baru untuk naik saja ya. Memang tidak selalu, tapi mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.


3. Harus menyiapkan strategi khusus.

Nah, terkait masalah strategi bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya. Beberapa yang saya praktikkan di antaranya
~menggunakan sandal gunung (atau alas kaki yang paling nyaman) supaya kuat berdiri lama
~tidak memakai bros di jilbab, karena kemungkinan rusak atau jatuh saat berdesakan sangat besar
~menggunakan tas ransel yang tidak terlalu besar dan cukup nyaman digendong di depan. Jangan sekali-kali menggunakan tas cantik yang rapuh dan mudah tergores.
~tidak usah berdandan dari rumah. Berdandanlah ketika sudah sampai tujuan karena biasanya secantik dan sekinclong-kinclongnya berdandan, akan luntur juga saat ber-KRL ria. Jangan lupa juga pakai masker biar tidak merusak pemandangab orang lain😆
~jika wanita, tetaplah naik di gerbong wanita agar saat berdesakan bisa meminimalisasi perilaku yang tidak-tidak dari penumpang lain
~isi waktu di atas KRL dengan kegiatan yang positif. Baca Quran dan dzikir matsurat bisa jadi salah satu pilihan. Mendengarkan murottal atau rekaman kajian, membalas email atau pesan whatsapp yang tertunda, memikirkan ide-ide tulisan atau ide-ide marketing untuk bisnis, kuliah online via whatsapp ataupun membaca buku bisa jadi pilihan baik yang lainnya. Jika memungkinkan, tidur juga sangat bermanfaat ketika kita terlalu lelah sehingga di rumah fresh dan tidak mengantuk saat membersamai keluarga😂 Emang bisa tidur kalau enggak dapat duduk? Saya pernah, sering bahkan😂 Hanya saja perlu dipastikan ketika tidur Anda tidak di tempat yang berbahaya (dekat pintu misalnya) dan bisa menyangga diri sendiri alias tidak bersandar pada orang lain. Kalau belum terlatih, don't try this at KRL. Adegan ini berbahaya😶


Kurang lebih itulah sekelumit hal yang harus dipersiapkan ketika kita memutuskan KRL akan menjadi teman hidup, baik sementara atau selamanya. Banyak hal unik dan banyak hal baik yang saya temui saat naik KRL. Bersama dengan beberapa watak dan karakter yang berbeda, menciptakan memori dan pembelajaran tersendiri bagi saya. Ada orang yang ramah, namun ada pula yang mudah marah. Ada yang siaga membantu, namun ada pula yang kepala batu. Ada yang sabar berpeluh, tapi tak sedikit yang mudah mengeluh. Ada yang bersikap manis, ada pula yang kasar dan egois.


Sering kali di atas KRL, saya melihat dan memikirkan hal yang relevan dengan nasihat-nasihat yang sampai pada saya. Salah satunya, nasihat Bu Septi Peni Wulandani tentang BAHAGIA.


"BAHAGIA itu erat kaitannya dengan POLA PIKIR bukan RASA.
.
Bahagia itu bukan rasa yang muncul di saat semuanya berjalan dengan baik, mulus, tanpa tantangan.
.
Bahagia itu adalah suatu pola pikir yang membuat diri kita bisa merespon semua tantangan dengan baik
.
Sehingga dengan pola pikir seperti itu, semua orang hanya punya dua pilihan yaitu :
BAHAGIA dan BAHAGIA BANGET"


Dan saya masih terus berlatih bahagia. Berlatih untuk membuat diri bisa merespon semua tantangan di atas KRL dengan baik. Juga tantangan di atas qadha dan qadar yang Allah tetapkan untuk saya. InsyaAllah.


Ditulis di atas KRL, dan diselesaikan di Stasiun Depok Baru.
20 April 2018, 21:23 WIB
Saat saya kembali belajar menulis lagi😊