Pages

Thursday, April 26, 2018

Fenomena Grup Whatsapp

Beberapa waktu yang lalu ada obrolan bersama teman-teman di kantor yang saya pikirkan sampai saat ini. Obrolan tentang waktu. Dulu ketika masih tahun 90-an, dalam sehari rasanya banyak hal yang bisa dilakukan. Pagi pergi ke sekolah, belajar dan bermain bersama teman di sekolah. Pulang sekolah, makan siang bersama keluarga di rumah, membaca buku/majalah, nyicil mengerjakan PR dan tak lama setelahnya tidur siang. Lalu sorenya masih ada waktu mandi sore, mengaji, bermain, dan bahkan membantu ibu membersihkan rumah atau menyapu halaman. Kadang bahkan masih sempat bersepeda sore-sore. Malamnya makan bersama keluarga lagi sambil bercerita tentang apa yang dialami hari ini, belajar atau mengerjakan PR, dan menonton TV rame-rame. What a wonderful life! Sehari ada sangat banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi sekarang... Dengan waktu yang sama, mengapa sedikit sekali hal yang bisa dilakukan? Pertanyaan tersebut tak sengaja mampir dalam obrolan ringan kami siang hari itu.

Saat ini sungguh jauh berbeda. Kami, berangkat pagi dan pulang malam. Saat di kantor, produktivitas juga tidak bagus-bagus amat. Malamnya, sampai rumah sudah tak banyak yang bisa dilakukan karena kelelahan. Bahkan sehari terlewatkan obrolan yang berkualitas bersama keluarga. Sebelumnya saya sempat berpikir, mungkin karena sebagian besar waktu habis di jalan. Coba kalau saya di rumah? Dan saya ingat kembali, ada masa ketika saya hanya di rumah saja. Produktivitas tidak bagus-bagus amat, di rumah saja juga mudah lelah. Apalagi setelah melihat rumah tetap tak ada rapi-rapinya. Padahal saya dan suami masih berdua saja alias belum ada anak. Sama-sama punya waktu yang terbatas! Dalam sehari, tak banyak yang bisa dilakukan dan tak banyak memori yang terekam. Sampai-sampai terpikirkan begini, "Kalau siang saya itu pingsan apa gimana sih? Tau-tau udah malam aja dan nggak ingat siang itu sudah melakukan apa saja."

Kembali ke obrolan saya dengan teman-teman, akhirnya kami bersepakat -dalam diam (gimana coba bersepakat dalam diam? :P)- tentang satu hal. Gadget. Sebagian dari waktu yang kita miliki tak lagi sepenuhnya bisa kita nikmati karena gadget. Bangun tidur buka gadget. Ngapain dikit buka gadget. Beberes rumah, kerja, belajar, memasak, di jalanan, makan, mengobrol, hingga kembali akan tidurpun diselingi dengan membuka gadget. Dulu... Kita terbiasa mengerjakan satu hal sampai selesai, tanpa terdistraksi oleh gadget. Sekarang ada banyak alasan mengapa kita harus sedikit-sedikit membersamai si layar persegi panjang ini. Alasan yang penting atau sebenarnya sama sekali tidak penting.

Salah satu di antara godaan gadget yang -mungkin- tidak kita sadari adalah banjir informasi melalui aplikasi percakapan (chat) di dalam gadget kita. Benar, kalau ada yang bilang segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Coba masing-masing dari kita menengok ke aplikasi chat masing-masing. Berapa banyak grup yang kita ikuti? Sekitar empat bulan lalu, saya sempat iseng menghitung jumlah grup whatsapp yang saya ikuti. Saya terlalu malu untuk menyebutkan jumlahnya saking banyaknya. Ada grup keluarga (keluarga besar, keluarga inti, sesama saudara, keluarga besar yang berdomisili di kota yang sama), grup sekolah (untungnya baru SMP sampai kuliah, ditambah grup ekskul, grup lalala lilili lainnya), grup kantor (grup yang ada Bos, yang nggak ada bosnya, grup panitia project A, project B dan seterusnya yang kebanyakan projectnya sudah kelar tapi grupnya enggak kelar-kelar), grup RT, dan grup-grup lain yang tidak habis-habis dan selalu bertambah. Begitu coba saya eliminasi satu-persatu, yang terjadi adalah mati satu tumbuh sepuluh (untungnya ngga sampe seribu). Pernah saya sampai pusing saking banyaknya informasi yang dibagikan via grup-grup ini. Sementara tidak semua grup penting tetapi keluar dari grup yang kurang penting tidak semudah membalik telapak tangan. Diinvite ulang, diwapri teman segrup, atau dilabeli sombong adalah sebagian konsekuensi yang harus dihadapi ketika keluar dari grup whatsapp.

Dari dua buku yang saya baca seputar fokus dan produktivitas (maafkan lupa judulnya, sabtu saya update tentang judul bukunya, insyaAllah), disebutkan bahwa agar waktu kita efisien dan produktif kita harus fokus dalam menyelesaikan sesuatu. Salah satu cara untuk fokus adalah memperbanyak bertindak aktif, bukan responsif. Contoh tindakan responsif salah satunya adalah membaca email setiap pagi lalu membalasnya. Saya pikir hal ini berlaku juga di dunia per-whatsapp-an. Saat pagi hari, umumnya orang-orang zaman now akan mengecek smartphone terlebih dahulu. Mengecek apakah ada pesan whatsapp yang masuk dan perlu dibalas. Hingga mungkin berlalu 5-10 menit atau bahkan lebih. Dan ini adalah kegiatan yang berulang-ulang selalu dilakukan, tidak hanya saat bangun tidur. Apabila diasumsikan setiap hari kita mengecek whatsapp sebanyak 12 kali saja dan tiap mengecek menghabiskan waktu 5 menit. Sudah satu jam waktu yang dihabiskan. Padahal pada kenyataannya, frekuensi dan waktu yang kita, eh.. saya habiskan untuk mengecek whatsapp lebih dari itu. Ini baru tindakan responsif terkait whatsapp, belum membalas chat di aplikasi dan media sosial lainnya. Entah berapa banyak waktu yang habis...?

Setelah melakukan beberapa pemikiran yang mendalam terkait hal ini -dan sekarang pun masih memikirkan- saya sampai pada beberapa kesimpulan agar tidak terjebak dalam bahaya overdosis grup whatsapp:

1. Membatasi jumlah grup whatsapp yang kita ikuti.

Grup whatsapp, menurut saya, seperti dunia. Tidak ada habisnya kalau terus diikuti. Ada saat di mana kita harus tegas berkata cukup. Kalau terlanjur banyak? Katakan TIDAK pada grup whatsapp (baru)! Kecuali nambah 1 grup baru, keluar 1 grup lama. Kalau sudah terlanjur banyak? Tiada jalan lain kecuali leave grup. Banyak grup yang diikuti juga akan berpengaruh pada memori smartphone. Ada lebih banyak waktu yang kita habiskan untuk sekadar clear chat.  "Maaf, grup whatsapp yang bisa saya ikuti cuma 10. Sudah enggak bisa lagi ikut grup baru." Keren bangetlah kalau ada orang yang bisa bilang begitu! ^_^

2. Memprioritaskan grup whatsapp yang penting dan yang kurang/tidak penting, ikuti grup yang penting saja.

Berfokus pada hal-hal yang bermanfaat saja, termasuk dalam urusan grup whatsapp. Ikuti hanya grup-grup yang bermanfaat saja. Yang bermanfaat seperti apa? Beda orang bisa jadi beda kualifikasi yang disebut bermanfaat. Tanya saja pada diri kita, apakah kita bahagia/tidak menjadi bagian dari grup whatsapp tersebut? Kalau tidak bahagia, lepaskan saja😉
Selain itu, sebaiknya ikuti hanya grup whatsapp yang sudah punya visi-misi dan aturan yang jelas. Pastikan kita sudah tahu mau dibawa ke arah mana grup whatsapp tersebut. Aturan yang jelas akan melindungi anggota grup dari kebanjiran informasi dan perdebatan yang tiada guna.

3. Menciptakan lingkungan bebas kendali grup whatsapp

Sudah saya singgung sebelumnya bahwa banyak sekali hambatan dan tantangan untuk keluar dari sebuah grup whatsapp, terutama dari lingkungan sekitar. Sehingga dibutuhkan lingkungan yang kondusif dan sama-sama memahami bahwa ikut atau tidak ikut grup adalah hak segala bangsa yang tidak perlu dibully dan dipertanyakan sebabnya. Setiap orang memiliki kebebasan akan menjadi anggota grup whatsapp yang mana.
Prinsip yang seharusnya dipegang adalah kita yang mengendalikan, bukan sebaliknya kita dikendalikan oleh grup whatsapp. Sebenarnya tidak hanya grup whatsapp, berlaku juga media sosial atau aplikasi lainnya. Kita, manusia, adalah subjeknya. Bukan objek.
Mengenai hal ini, barangkali kita perlu sama-sama bergandengan tangan untuk menyuarakan bagaimana ber-grup whatsapp dengan nyaman dan menyamankan orang lain. Apalagi kalau bisa viral dan didukung melalui pembelajaran di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Banjir informasi, mungkin perlu juga ditangani oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) karena sangat berbahaya, dapat menurunkan produktivitas anak-anak bangsa😶
Kalau belum bisa, maka mulai dari rumah-rumah kita. Edukasi diri sendiri, edukasi anggota keluarga bagaimana menyikapi fenomena grup whatsapp dengan bijak.

4. Mulai hari dengan berdoa

Tilawah Quran dan dzikir doa-doa perlindungan dari hal yang sia-sia adalah cara yang tidak boleh dilewatkan dalam memulai hari. Agar setiap waktu kita selalu dipenuhi keberkahan dan insyaAllah berujung pada produktivitas yang luar biasa.


Jadi, masih mau mempertahankan kebisingan dan kepusingan yang ditimbulkan grup whatsapp?

Share juga di komen yaa kalau ada tips lainnya :D

#30DWCJILID13
#SQUAD7
#DAY3

Friday, April 20, 2018

Cerita di Atas KRL (Bagian 1) : Melatih Bahagia

Ramadhan tahun ini, insyaAllah menuju enam tahun saya dan suami menjadi warga Depok. Dan beranjak menuju enam pula hitungan tahun saya mendeklarasikan diri sebagai anggota roker alias bagian dari rombongan kereta. Berkantor di Jakarta Pusat membuat saya hampir tidak memiliki alternatif transportasi lain yang lebih mudah-murah-cepat-nyaman, kecuali Kereta Rel Listrik (KRL).

Menghabiskan tiga hingga empat jam sehari di atas KRL membuat saya cukup kenyang dengan asam garam kehidupan per-KRL-an. Kali ini saya akan share tiga hal utama -sok tau ala saya- yang harus dipersiapkan ketika menggunakan KRL sebagai moda transportasi utama sehari-hari (terutama bagi yang menempuh perjalanan jauh menuju tempat bekerja dan pada saat jam sibuk):


1. Siapkan mindset menghadapi dunia KRL yang bisa jadi tak seindah bayangan.

Penuh, berdesakan, bau keringat, panas, gangguan KRL, dan berisik bisa jadi akan ditemui sepanjang perjalanan. Mindset yang paling utama perlu ditanamkan adalah... jangan pernah berharap dapat duduk jika bukan termasuk ibu hamil, ibu membawa balita, lansia, dan penyandang disabilitas. Saat malam dan sudah melewati jam sibuk sekalipun, sekarang KRL lebih sering penuh. Tanamkan mindset bahwa dapat tempat duduk adalah bonus yang mewah. Semacam doorprize utama kegiatan gerak jalan, tidak banyak yang bisa mendapatkan.


2. Kekuatan jiwa dan raga.

Kekuatan jiwa yang diperlukan di antaranya sebanyak satu exa (=1jt *  terra) kesabaran dan satu giga kesungguhan. Alias kesabaran dan kesungguhan yang tiada terkira😂
Sedangkan kekuatan raga yang diperlukan, jika diibaratkan handphone, kira-kira handphone yang sudah dicharge hingga 100% dengan kondisi baterai yang masih bagus, ditambah baterai cadangan dengan kondisi prima dan power bank 10.000 MAh yang terisi penuh. Suatu ketika saya pernah... akan berangkat ke kantor dan untuk bisa memenangkan persaingan naik KRL memggunakan 90% tenaga dari 100% yang saya siapkan. Di atas KRL terpaksa minum beberapa teguk air dan makan cokelat supaya tidak pingsan, padahal sebelumnya sudah sarapan😅
Dan itu baru untuk naik saja ya. Memang tidak selalu, tapi mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.


3. Harus menyiapkan strategi khusus.

Nah, terkait masalah strategi bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya. Beberapa yang saya praktikkan di antaranya
~menggunakan sandal gunung (atau alas kaki yang paling nyaman) supaya kuat berdiri lama
~tidak memakai bros di jilbab, karena kemungkinan rusak atau jatuh saat berdesakan sangat besar
~menggunakan tas ransel yang tidak terlalu besar dan cukup nyaman digendong di depan. Jangan sekali-kali menggunakan tas cantik yang rapuh dan mudah tergores.
~tidak usah berdandan dari rumah. Berdandanlah ketika sudah sampai tujuan karena biasanya secantik dan sekinclong-kinclongnya berdandan, akan luntur juga saat ber-KRL ria. Jangan lupa juga pakai masker biar tidak merusak pemandangab orang lain😆
~jika wanita, tetaplah naik di gerbong wanita agar saat berdesakan bisa meminimalisasi perilaku yang tidak-tidak dari penumpang lain
~isi waktu di atas KRL dengan kegiatan yang positif. Baca Quran dan dzikir matsurat bisa jadi salah satu pilihan. Mendengarkan murottal atau rekaman kajian, membalas email atau pesan whatsapp yang tertunda, memikirkan ide-ide tulisan atau ide-ide marketing untuk bisnis, kuliah online via whatsapp ataupun membaca buku bisa jadi pilihan baik yang lainnya. Jika memungkinkan, tidur juga sangat bermanfaat ketika kita terlalu lelah sehingga di rumah fresh dan tidak mengantuk saat membersamai keluarga😂 Emang bisa tidur kalau enggak dapat duduk? Saya pernah, sering bahkan😂 Hanya saja perlu dipastikan ketika tidur Anda tidak di tempat yang berbahaya (dekat pintu misalnya) dan bisa menyangga diri sendiri alias tidak bersandar pada orang lain. Kalau belum terlatih, don't try this at KRL. Adegan ini berbahaya😶


Kurang lebih itulah sekelumit hal yang harus dipersiapkan ketika kita memutuskan KRL akan menjadi teman hidup, baik sementara atau selamanya. Banyak hal unik dan banyak hal baik yang saya temui saat naik KRL. Bersama dengan beberapa watak dan karakter yang berbeda, menciptakan memori dan pembelajaran tersendiri bagi saya. Ada orang yang ramah, namun ada pula yang mudah marah. Ada yang siaga membantu, namun ada pula yang kepala batu. Ada yang sabar berpeluh, tapi tak sedikit yang mudah mengeluh. Ada yang bersikap manis, ada pula yang kasar dan egois.


Sering kali di atas KRL, saya melihat dan memikirkan hal yang relevan dengan nasihat-nasihat yang sampai pada saya. Salah satunya, nasihat Bu Septi Peni Wulandani tentang BAHAGIA.


"BAHAGIA itu erat kaitannya dengan POLA PIKIR bukan RASA.
.
Bahagia itu bukan rasa yang muncul di saat semuanya berjalan dengan baik, mulus, tanpa tantangan.
.
Bahagia itu adalah suatu pola pikir yang membuat diri kita bisa merespon semua tantangan dengan baik
.
Sehingga dengan pola pikir seperti itu, semua orang hanya punya dua pilihan yaitu :
BAHAGIA dan BAHAGIA BANGET"


Dan saya masih terus berlatih bahagia. Berlatih untuk membuat diri bisa merespon semua tantangan di atas KRL dengan baik. Juga tantangan di atas qadha dan qadar yang Allah tetapkan untuk saya. InsyaAllah.


Ditulis di atas KRL, dan diselesaikan di Stasiun Depok Baru.
20 April 2018, 21:23 WIB
Saat saya kembali belajar menulis lagi😊